Senin, 05 Juli 2010

Rekening Gendut Polisi, Isu Terbaru Untuk Membersihkan Polri atau Demi Suksesi Kapolri ?

Majalah Tempo kembali membuat heboh ketika menurunkan berita Rekening Gendut Polisi. kontan saat ini semua mata yang sedang menyaksikan Pila Dunia sedikit menoleh menuju kesana. Berita tersebut kembali membuat panas muka korps polisi. Bahkan sudah ada tanda-tanda pihak polisi untuk mengambil ancang-ancang segera menuntut majalah Tempo. Isu Rekening mencurigakan yang mencapai jumlah miliaran rupiah ini nantinya diharapkan bisa dijadikan catatan perbaikan internal institusi Polri.Tetapi kalau memang tidak terbukti sebaiknya majalah Tempo harus melakukan rehabilitasi atau Polisi harus segera menggunakan hak jawabnya. Selain itu tampaknya pemberitaan Tempo terlalu vulgar dengan memasang gambar celengan babi yang sempat membuat Kapolri dan jajarannya tersinggung. Apakah isu ini demi kepentingan pembersihan di tubuh Polri atau sekedar isu untuk saling menjatuhkan dalam rangka suksesi Kapolri ?

Majalah Tempo edisi 28 Juni-4 Juli 2010 yang terbit Senin (28/6) menurunkan laporan investigasi berjudul ‘Rekening Gendut Perwira Polisi’. Namun, pelanggan di Jakarta terpaksa gigit jari, karena majalah tersebut diborong orang-orang tak dikenal sejak Senin subuh atau hanya beberapa jam setelah terbit.

Majalah Tempo dengan sampul bergambar polisi menuntun sejumlah celengan babi gendut itu, menghadirkan topik utama “Rekening Para Jenderal”. Ada empat judul tulisan, yakni ‘Aliran Janggal Rekening Jenderal’, ‘Relasi Mantan Ajudan’, ‘Mereka Bukan Penjahat’, dan ‘Rekening dalam Sorotan’. Tulisan pertama berjudul ‘Aliran Janggal Rekening Jenderal’ membahas soal dokumen yang beredar di Trunojoyo. Dokumen itu berisi adanya transaksi keuangan enam perwira Polri yang dianggap kurang sesuai dengan pangkat dan jabatan mereka.

Dalam ulasan di halaman 26-33, dokumen itu konon ringkasan atas laporan hasil analisis Pusat Pelaporan dan Analisis Keuangan (PPATK). Namun, soal ini, Juru Bicara Pusat Pelaporan Natsir Kongah yang diwawancarai majalah itu tak mau berkomentar karena itu kewenangan penyidik.

Di tulisan pertama dimulai wawancara dengan Kabareskrim Komjen Ito Sumardi seputar laporan PPATK tentang rekening sejumlah jenderal dan perwira mencurigakan. Ito menyatakan ada 21 perwira pemilik rekening mencurigakan. Ia mengatakan telah menerima perintah Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri untuk melakukan klarifikasi terhadap para perwira itu. Majalah Tempo menulis perwira-perwira polisi yang masuk dalam daftar tersebut. Mereka antara lain rekening milik Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Irjen Pol Budi Gunawan. Nama perwira lain, mantan Kabareskrim Komjen Pol Susno Duadji, Kapolda Kalimantan Timur Irjen Mathius Salempang, mantan Kepala Korps Brimob Irjen Sylvanus Yulian Wenas, Irjen Bambang Suparno, Kombes Edward Syah Pernong, Kombes Umar Leha, dan mantan kapolda Sumatera Utara Irjen Pol Badrodin Haiti. Tempo juga membeber kekayaan masing-masing perwira yang namanya disebut dalam dokumen tersebut.

Di tulisan kedua berjudul ‘Relasi Mantan Ajudan’, Tempo menulis soal Irjen Pol Budi Gunawan yang pernah menjadi ajudan mantan presiden Megawati. Tempo menyinggung soal Budi dan anaknya yang menerima dana mencurigakan.

Indonesian Police Watch (IPW) tidak kaget dengan mencuatnya isu kepemilikan rekening gendut para jenderal Polri itu. Terlebih, isu serupa sudah muncul dan dibantah Kapolri Jenderal Sutanto sekitar 2007. IPW menduga ada perang bintang di balik mencuatnya isu itu. “Itu kasus rekening lama, kalaupun mau dibuka, tentu sulit. Saya melihatnya, ini dalam rangka perang bintang untuk memperebutkan posisi calon Kapolri pengganti Bambang Hendarso Danuri (BHD),” tegas Ketua Presidium IPW Neta S Pane, Senin (28/6). Analisis Neta, dalam enam rekening jenderal yang mencuat ini tercantum nama Irjen Bambang Suparno. “Bambang Suparno itu, satu dari delapan jenderal yang diusulkan untuk menjadi calon Kapolri,” tegasnya.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan transaksi keuangan yang mencurigakan 15 rekening lebih yang melibatkan sejumlah oknum polisi sejak 2005 hingga sekarang. ’’Lebih dari 15 orang, dari brigadir sampai perwira tinggi. Ada pensiun, ada yang masih aktif. Rekening sejak 2005 sampai sekarang,’’ ungkap Kepala PPATK, Yunus Hussein dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III, di Gedung DPR, Jakarta , kemarin. Dia mengatakan, pihaknya telah menyerahkan hasil analisis transaksi keuangan yang dinilai mencurigakan tersebut kepada pihak kepolisian dan Kejaksaan Agung. Hal tersebut, selalu dilakukan PPATK setelah menerima laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM) dan melakukan analisis, di mana dalam proses analisis tersebut tidak sesuai dengan profil terlapor. ’’Lebih dari 15 rekening tersebut tidak ditemukan adanya underlying transaction yang dapat menjadi dasar dilakukannya transaksi,’’ ujar Yunus. Dia menegaskan, proses analisis tersebut dilakukan dengan standar yang sama dan tidak membedakan apakah terlapor adalah masyarakat biasa maupun pejabat dari lembaga negara. Namun, Yunus enggan memberikan keterangan pasti siapa saja oknum dari kepolisian yang tersangkut dalam rekening tersebut. ’’Yang jelas, laporan tersebut saat ini sudah mulai dalam proses pengusutan dari aparat penegak hukum. Karena, kita sudah ketemu Kapolri dua minggu lalu, dan kita sudah rekonsiliasi angka-angka itu,’’ paparnya.

Sebelumnya, Mabes Polri mengakui memang tengah menyelidiki laporan soal rekening mencurigakan beberapa jenderal polisi. Tindakan ini dilakukan sebagai bentuk transparansi kepolisian dan hasilnya akan segera diumumkan ke masyarakat.“Ada beberapa orang, sudah ada yang kita selidiki,” kata Kabaresrim Mabes Polri Komjen Pol Ito Sumardi di Mabes Polri, Jl Trunojoyo, Jakarta, beberapa hari yang lalu.

Rekening Kadiv Propam

Sekretaris Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, Denny Indrayana, mendesak Polri segera mengklarifikasi adanya Laporan Hasil Analisis PPTK tentang rekening perwira Polri yang mencurigakan. Terlebih, perwira tinggi polri yang namanya telah terekspos ke publik. Denny mencontohkan rekening senilai Rp 95 miliar milik Kadiv Propam, Irjen Budi Gunawan, yang telah terkuak ke publik. Menurutnya, Polri dan yang bersangkutan perlu segera mengklarifikasi informasi tersebut karena posisi Budi Gunawan sebagai Kadiv Propam merupakan penjaga gawang kepolisian. ”Kalau terbukti memang demikian ada uang Rp 95 miliar di rekening Budi Gunawan, sangat bisa jadi itu terkait dengan praktik mafia hukum,” ujar Denny curiga di Kantor Transparency International Indonesia, Jakarta, Kamis (20/5).

Denny mengatakan, meski Satgas tidak berhak mendapatkan LHA, namun Polri perlu melakukan klarifikasi demi kredibilitas institusi. Menurutnya, jika terbukti ada penyimpangan praktik mafia hukum harus diberikan sangsi yang tidak terbatas hanya administratif, tetapi juga pidana.

Transaksi yang dicurigai PPATK menurut Majalah Tempo

Markas Besar Kepolisian RI menelusuri laporan transaksi mencurigakan di rekening sejumlah perwira polisi yang dilaporkan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Berikut ini sebagian dari transaksi yang dicurigai PPATK itu, seperti yang ditulis majalah Tempo.

  1. Inspektur Jenderal Mathius Salempang, Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Timur
    Kekayaan: Rp 8.553.417.116 dan US$ 59.842 (per 22 Mei 2009)Tuduhan:
    Memiliki rekening Rp 2.088.000.000 dengan sumber dana tak jelas. Pada 29 Juli 2005, rekening itu ditutup dan Mathius memindahkan dana Rp 2 miliar ke rekening lain atas nama seseorang yang tidak diketahui hubungannya. Dua hari kemudian dana ditarik dan disetor ke deposito Mathius.“Saya baru tahu dari Anda.”
    Mathius Salempang, 24 Juni 2010
  2. Inspektur Jenderal Sylvanus Yulian Wenas, Kepala Korps Brigade Mobil Polri
    Kekayaan: Rp 6.535.536.503 (per 25 Agustus 2005)
    Tuduhan:
    Dari rekeningnya mengalir uang Rp 10.007.939.259 kepada orang yang mengaku sebagai Direktur PT Hinroyal Golden Wing. Terdiri atas Rp 3 miliar dan US$ 100 ribu pada 27 Juli 2005, US$ 670.031 pada 9 Agustus 2005.
    “Dana itu bukan milik saya.”
    Sylvanus Yulian Wenas, 24 Juni 2010
  3. Inspektur Jenderal Budi Gunawan, Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian
    Kekayaan: Rp 4.684.153.542 (per 19 Agustus 2008)
    Tuduhan:
    Melakukan transaksi dalam jumlah besar, tak sesuai dengan profilnya. Bersama anaknya, Budi disebutkan telah membuka rekening dan menyetor masing-masing Rp 29 miliar dan Rp 25 miliar.
    “Berita itu sama sekali tidak benar.”
    Budi Gunawan, 25 Juni 2010
  4. Inspektur Jenderal Badrodin Haiti, Kepala Divisi Pembinaan Hukum Kepolisian
    Kekayaan: Rp 2.090.126.258 dan US$ 4.000 (per 24 Maret 2008)
    Tuduhan:
    Membeli polis asuransi pada PT Prudential Life Assurance Rp 1,1 miliar. Asal dana dari pihak ketiga. Menarik dana Rp 700 juta dan menerima dana rutin setiap bulan.
    “Itu sepenuhnya kewenangan Kepala Bareskrim.”
    Badrodin Haiti, 24 Juni 2010
  5. Komisaris Jenderal Susno Duadji, mantan Kepala Badan Reserse Kriminal
    Kekayaan: Rp 1.587.812.155 (per 2008)
    Tuduhan:
    Menerima kiriman dana dari seorang pengacara sekitar Rp 2,62 miliar dan kiriman dana dari seorang pengusaha. Total dana yang ditransfer ke rekeningnya Rp 3,97 miliar.
    “Transaksi mencurigakan itu tidak pernah kami bahas.”
    (M. Assegaf, pengacara Susno, 24 Juni 2010)
  6. Inspektur Jenderal Bambang Suparno, Staf pengajar di Sekolah Staf Perwira Tinggi Polri
    Kekayaan: belum ada laporan
    Tuduhan:
    Membeli polis asuransi dengan jumlah premi Rp 250 juta pada Mei 2006. Ada dana masuk senilai total Rp 11,4 miliar sepanjang Januari 2006 hingga Agustus 2007. Ia menarik dana Rp 3 miliar pada November 2006.
    “Tidak ada masalah dengan transaksi itu. Itu terjadi saat saya masih di Aceh.”
    Bambang Suparno, 24 Juni 2010

foto

MEMEGANG saku kemeja lengan panjang batiknya, Komisaris Jenderal Ito Sumardi bertanya, “Berapa gaji jenderal bintang tiga seperti saya?” Sambil tersenyum, Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia itu menjawab sendiri pertanyaannya, “Hanya sembilan juta rupiah, sudah termasuk berbagai tunjangan.”

Ito menambahkan, Kepala Kepolisian RI, pejabat tertinggi di institusi itu, bergaji hanya sekitar Rp 23 juta, sudah termasuk aneka tunjangan. Buat biaya penanganan kasus, ia melanjutkan, polisi hanya memperoleh anggaran Rp 20 juta per perkara. Setiap kepolisian sektor-unit kepolisian di tingkat kecamatan-hanya diberi anggaran dua perkara per tahun. “Selebihnya harus cari anggaran sendiri,” kata Inspektur Jenderal Dikdik Mulyana, Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal, yang mendampingi Ito ketika wawancara dengan Tempo, Jumat pekan lalu.

Bukan sedang mengeluh, Ito menyampaikan “urusan dapur” pejabat kepolisian itu buat menangkis tudingan terhadap sejumlah perwira yang diduga memiliki rekening mencurigakan. Dokumen yang memuat lalu lintas keuangan petinggi Polri itu beredar di tangan para perwira polisi dan jadi bahan gunjingan di Trunojoyo-Markas Besar Kepolisian. Disebut-sebut dokumen itu adalah ringkasan atas laporan hasil analisis Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Soal ini, juru bicara Pusat Pelaporan, Natsir Kongah, tak mau berkomentar. “Saya tidak bisa memberikan konfirmasi karena itu kewenangan penyidik,” katanya, Kamis pekan lalu.

Menurut salinan dokumen itu, enam perwira tinggi serta sejumlah perwira menengah melakukan “transaksi yang tidak sesuai profil” alias melampaui gaji bulanan mereka. Transaksi paling besar dilakukan pada rekening milik Inspektur Jenderal Budi Gunawan, Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri. Pada 2006, melalui rekening pribadi dan rekening anaknya, mantan ajudan Presiden Megawati Soekarnoputri itu mendapatkan setoran Rp 54 miliar, antara lain, dari sebuah perusahaan properti.

Daftar yang sama memuat, antara lain, nama Komisaris Jenderal Susno Duadji, mantan Kepala Badan Reserse Kriminal yang kini ditahan sebagai tersangka kasus korupsi. Ada pula Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Timur Inspektur Jenderal Mathius Salempang, mantan Kepala Korps Brigade Mobil Inspektur Jenderal Sylvanus Yulian Wenas, Inspektur Jenderal Bambang Suparno, Komisaris Besar Edward Syah Pernong, juga Komisaris Umar Leha.

Dimintai konfirmasi soal nama-nama jenderal polisi pemilik rekening itu, Ito Sumardi secara tidak langsung membenarkan. Menurut dia, perwira-perwira itu termasuk dalam daftar 21 perwira pemilik rekening mencurigakan. Ia mengatakan telah menerima perintah Kepala Kepolisian Jenderal Bambang Hendarso Danuri buat melakukan klarifikasi terhadap para perwira tersebut. “Ini pembuktian terbalik, jadi menjadi beban mereka untuk menjelaskan asal-usul transaksinya,” katanya.

Cerita soal rekening janggal milik jenderal kepolisian juga pernah muncul pada akhir Juli 2005. Ketika itu, 15 petinggi kepolisian diduga memiliki rekening tak wajar. Termuat dalam dokumen yang diserahkan Kepala PPATK Yunus Husein kepada Jenderal Sutanto, Kepala Kepolisian ketika itu, sejumlah petinggi kepolisian diduga menerima aliran dana dalam jumlah besar dan dari sumber yang tak wajar. Sebuah rekening bahkan dikabarkan menampung dana Rp 800 miliar. Namun kasus ini hilang dibawa angin.

Majalah Tempo Diborong

Aksi borong diungkapkan karyawan distributor koran dan Majalah Sihite Agency di bilangan Blok M, Jakarta Selatan. “Sudah diborong dari pagi, padahal masih banyak yang cari,” ujar karyawan yang enggan disebut namanya. Menurut karyawan itu, orang tak dikenal itu memborong majalah pada pagi subuh. Ketika ditanya ciri orang yang memborong, karyawan mengatakan, orang itu berambut cepak memakai baju safari. “Gak tahu itu polisi apa bukan, tapi rambutnya cepak pakai pakaian safari,” imbuhnya. Sedangkan sejumlah pedagang kios majalah bahkan mengaku, sebagian majalah itu dibeli oleh polisi berseragam.

Guna menyiasati pelanggan yang masih mencari majalah itu, karyawan itu menyiasati dengan menggandakan artikel liputan khusus Tempo itu dengan cara difotokopi. “Saya banderol Rp 10.000, untuk uang jalan yang memfotokopi aja,” katanya. Mabes Polri mengaku belum mengetahui tentang “hilangnya” Majalah Tempo edisi “Rekening Gendut Perwira Polisi” ini. Mabes Polri juga belum menerima laporan soal adanya polisi yang memborong majalah Tempo tersebut. “Saya belum dengar kabar itu. Belum ada laporan,” kata Wakadiv Humas Polri Brigjen Pol Zainuri Lubis, Senin (28/6).

Seorang wartawan Tempo menjelaskan, biasanya Majalah Tempo dikirim dari percetakan sekitar pukul 01.00 WIB untuk diantar ke agen-agen di Jakarta. “Tapi, tadi malam mobil yang mengantar majalah Tempo ke agen dicegat sekawanan orang, kayaknya polisi pakai pakaian preman, soalnya didekatnya ada mobil polisi,” ujar wartawan itu. Meski Majalah Tempo di Jakarta menghilang di pasaran, pelanggan Tempo di daerah di luar Jakarta tetap dapat membaca majalah yang pernah dibredel pemerintah era Soeharto itu. “Kalau untuk daerah sudah lebih dulu daripada di Jakarta, jadi gak ada gangguan,” katanya

Kantor Tempo Biro Jabar di Jalan Bengawan Bandung sempat didatangi 3 pria yang mengaku aparat kepolisian dari Polwiltabes Bandung, Senin 28 Juni malam. Mereka menanyakan penyebaran majalah Tempo edisi Rekening Gendut Perwira Polisi serta alamat agen. “Mereka ngakunya dari Polwiltabes Bandung dan datang sekitar pukul 20.30 WIB. Ya mereka tanya soal oplah, peredarannya ke mana saja, terus agen-agennya di mana saja,” kata Kepala Sirkulasi Koran dan Majalah Tempo Biro Bandung, Didit Setiaji, saat ditemui wartawan di kantornya Jalan Bengawan Bandung, Selasa (29/6/2010) sore. Didit mengatakan, ketiga polisi itu juga sempat menanyakan majalah. Mereka juga tanya-tanya majalah. Pas mereka pulang, saya kasih satu majalah Tempo, kata Didit. Didit menambahkan, kemungkinan untuk majalah edisi sekarang returnya bakal sedikit, atau malah tidak ada. Biasanya, kata dia, dari hasil sebaran majalah Tempo di Bandung, returnya berkisar antara 10 sampai 15 persen. Aksi borong majalah Tempo edisi Rekening Gendut Perwira Polisi juga terjadi di Bandung, sejak Senin (28/6/2010). Namun, aksi borong dilakukan setelah majalah tersebut beredar di sub agen dan pengecer, terutama di kawasan Cikapundung

Majalah TEMPO tak ingin kecolongan setelah edisi terbarunya dengan cover “Rekening Gendut Perwira Polisi” hilang di pasaran lantaran diborong sekelompok orang. Menggantikan sekitar 30 ribu eksemplar majalah yang hilang itu , Sirkulasi Majalah TEMPO akhirnya mencetak ulang edisi tersebut. Menurut Kepala Divisi Sirkulasi dan Distribusi TEMPO Windalaksana, pencetakan ulang dilakukan Selasa (29/6), pukul 05.00 WIB. “Pagi ini sudah dicetak dan diluncurkan ke pasaran. Kami juga telah menerima laporan bahwa hingga saat ini, tak ada kendala di lapangan,” ujarnya. Sehingga dia menjamin bahwa konsumen bisa mendapatkan majalah TEMPO di tingkat eceran.

Berita ini, tentu akan membuat lega konsumen majalah TEMPO. Akan tetapi bagi si oknum pemborong yang disebutkan “mirip polisi namun tak berpakaian dinas”, kabar ini paling tidak akan membuatnya semakin puyeng. Betapa tidak. Dengan terbitnya majalah dengan Cover ” Rekening Gendut Perwira Polisi”, bergambar seorang polisi tengah memegang seutas tali yang diikatkan pada tiga babi kecil berwarna merah muda itu, maka upaya si pemborong jika maksudnya untuk menghalangi informasi sampai ke tangan pembaca sepertinya akan gagal.

Lebih puyeng lagi, karena untuk memborong 30 ribu majalah dari sejumlah tempat yang berbeda itu tentu bukanlah pekerjaan mudah. Dari sisi harga, Rp. 27 ribu per eksemplar, maka setidaknya si pemborong paling tidak mengeluarkan duit Rp. 810 juta. Ini belum lagi operasional untuk menyisir majalah tersebut dari agen dan lapak yang ada. Sungguh akan menguras banyak energi! Yang menjadi pertanyaan, ada apa sebenarnya di balik berita majalah dalam edisi tersebut sehingga si pemborong harus menguras banyak energi seperti ini? Ataukah si pemborong tersebut begitu suka dengan edisi TEMPO kali ini sehingga merasa perlu membelinya semua?

Isu Demi Kepentingan Suksesi Kapolri ?

Polri kembali geger. Rekening para jenderal yang memiliki milyaran rupiah ditulis sebuah majalah nasional yang beredar hari ini. Aksi borong majalah pun terjadi. Apa yang terjadi dibalik itu? Isu rekening gendut milik Polri bergulir bersamaan dengan momentum pergantian Kapolri. Namun begitu, Indonesia Corruption Watch (ICW) menegaskan pelaporan yang mereka lakukan ke KPK bukan untuk memanaskan suasana. “Ini tidak terkait dengan pemilihan Kapolri atau apapun. Itukan lebih kepada konspirasi politik,” kata Koordinator ICW Danang Widyhoko usai bertemu pimpinan KPK, di Gedung KPK, Jl Rasuna Kuningan, Jakarata, Kamis (1/7/2010). ICW, lanjut Danang, melaporkan kasus rekening gendut polisi ini berdasarkan pada fakta-fakta hukum yang berkembang. “Kalau memang unsur-unsurnya sudah terpenuhi, intinya harus dipanggil sesuai hukum. Tidak perduli latar belakangnya seperti apa (jabatannya),” jelas dia.

Rekening yang terdeteksi ada transaksi yang tidak jelas, menurut Danang sebenarnya bisa diindikasikan sebagai gratifikasi. Atau paling tidak bisa dikembangkan untuk laporan bahwa ada sesuatu yang mengganjal terhadap rekening tersebut. “Kalau dasar laporan kami, ada yang tidak sesuai antara LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaraan Negara) dengan kepemilikan rekening para Pati Polri. Danang menambahakan, ICW sebelumnya menerima laporan 1400 rekening mencurigakan milik Polri yang kemudian mereka teruskan ke KPK. Namun dari 1.400 rekening tersebut hanya 27 yang diproses ke pengadilan. “Seribu sekian-sekiannya nggak jelas. Padahal dari situ bisa ditelusuri dari mana dan kemana aliran rekening itu, tetapi kenapa tidak pernah di follow up,” tegas dia.

Indonesian Police Watch (IPW) tidak kaget dengan mencuatnya isu kepemilikan rekening gendut para jenderal Polri tersebut. Terlebih lagi, isu serupa sudah muncul dan dibantah Kapolri Jend Sutanto sekitar tahun 2007. IPW menduga, ada perang bintang dibalik mencuatnya rekening para jenderal tersebut. “Itukan kasus rekening lama, kalaupun mau dibuka, tentu sulit. Saya melihatnya, ini dalam rangka perang bintang untuk memperebutkan posisi calon Kapolri pengganti Bambang Hendarso Danuri (BHD),” tegas Ketua Presidium IPW Neta S Pane kepada Tribunnews.com, Senin (28/6/2010).

Analisa Neta, dalam enam rekening jenderal yang mencuat hari ini, tercantum nama Irjen Bambang Suparno. Siapakah dia? “Bambang Suparno adalah satu dari delapan jenderal yang diusulkan untuk menjadi calon Kapolri,” tegasnya. “Kenapa kok tiba-tiba muncul rekening Bambang Suparno? Dulu dalam 15 rekening Polri itu, dia tidak disebut-sebut. Dia salah satu calon Kapolri yang berpotensi kuat untuk menang,” tambah Neta S Pane. Dijelaskan Neta, Bambang yang kini menjabat sebagai Widyaiswara di Sespim Polri, adalah jenderal istimewa. “Bambang Suparno cukup istimewa, setahun dua kali kenaikan pangkat jenderal. Itu luar biasa. Itu sama dengan Sutanto ketika mempesiapkan BHD menjadi Kapolri. Dalam tiga tahun, BHD naik pangkat hingga tiga kali sehingga bisa menjadi Kapolri,” tambahnya. “Perkiraan saya, sekarang ini BHD sedang mempersiapkan Bambang Suparno menjadi Kapolri,” tambahnya. Neta mengingat, BHD dan Bambang Suparno adalah teman dekat ketika BHD menjabat Kapolda Sumatera Utara (Sumut) dan Bambang Suparno menjabat Direktur Lalu Lintas (Dirlantas) POlda Sumut.

Bagaimana Bambang Suparno yang bintang dua bisa menjadi calon kuat Kapolri? Menurut Neta, tak lama lagi Kababinkam Komjen Iman Haryatna bakal memasuki masa pensiun.”Saat Iman Haryatna pensiun, bisa saja Bambang Suparno menggantikannya. Otomatis kalau sudah menjabat Kababinkam, jadi bintang tiga dia,” imbuh Neta. Namun Neta tak bisa memprediksi siapa saja yang terlibat dalam perang bintang ini. “Kalau para jenderal sendiri tidak mungkin. Tapi bisa saja orang yang mendukungnya yang menyebarkan informasi ini. Saya yakin, ini perang bintang untuk jabatan Kapolri. Bulan Oktober nanti masa jabatan Kapolri Bambang Hendarso Danuri selesai,” tambah Neta.

Polri Harus Serius

Polisi diharapkan untuk serius menangani kasus rekening mencurigakan yang dimiliki oleh beberapa petinggi Polri berpangkat jenderal seperti yang sempat ditulis di beberapa media massa baru-baru ini. Kasus mencuatnya rekening mencurigakan yang mencapai jumlah miliaran rupiah ini nantinya diharapkan bisa dijadikan catatan perbaikan internal institusi Polri. “Dengan mencuatnya kasus itu diharapkan bisa ditegakkannya hukum secara tegas serta perbaikan citra internal institusi Polri,” kata Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Fakultas Hukum UGM Zainal Arifin Mochtar di sela-sela Diskusi Publik Konsep Peradilan Ideal di UC UGM, Rabu (30/6/2001).

Zainal menambahkan, aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan bahkan KPK cenderung lambat dalam menangani setiap perkara hukum terutama yang menyangkut persoalan internal. Sayangnya, KPK tidak bisa diandalkan sepenuhnya mengingat kasus yang melibatkan pimpinan KPK, yaitu Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah seakan digantung. Akibatnya, berimbas kepada lemahnya kinerja KPK. “KPK kan seakan tertatih-tatih kinerjanya mengingat kasus Bibit-Chandra yang digantung,” katanya.

Persoalan seperti yang saat ini terjadi di institusi kepolisian, ujar Zainal, sebenarnya hampir pernah terjadi di institusi penegak hukum lainnya. Dia mencontohkan kasus jaksa Urip Trigunawan (kasus suap BLBI), Kompol Arafat (kasus Gayus Tambunan) hingga melonjaknya isi rekening Ketua BPK Hadi Purnomo. “Yang terjadi justru penjualan kekuasaan/kewenangan oleh institusi penegakan hukum tadi,” papar Zainal.

Sedangkan disinggung mengenai pemberian remunerasi bagi polisi yang informasinya akan diberikan bertepatan dengan HUT Polri ke 64 tanggal 1 Juli dalam pandangan Zainal tidak terkait dengan upaya perbaikan internal di tubuh kepolisian. Belum tentu perbaikan kinerja para petinggi Polri dengan pemberian remunerasi ini bisa terjadi pula hingga level bawah. “Tidak ada jaminan dengan pemberian remunerasi akan memperbaiki citra polisi dari level atas hingga bawah,” jelasnya. Seperti diberitakan di beberapa media massa setidaknya ada enam nama jenderal dan beberapa perwira menengah yang diduga punya aliran dana mencurigakan. Enam jenderal itu, Irjen Pol MS, Irjen Pol SYW, Komjen Pol SD, Irjen pol BG, Irjen pol BH, dan Irjen Pol BS. Dalam kasus ini Indonesian Coruption Watch (ICW) telah melaporkan ke KPK. ICW juga melaporkan temuan rekening Rp 95 miliar milik seorang perwira tinggi Polri ke Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. ICW berharap laporan itu dapat membongkar mafia hukum.

Dewan kehormatan Polisi

Ketua Komisi Hukum DPR Benny Kabur Harman mengusulkan agar Presiden membentuk Dewan Kehormatan Polri untuk menyelidiki kebenaran laporan mengenai rekening-rekening mencurigakan para perwira tinggi Kepolisian RI. “Masalah ini sudah lama dibuka ke publik oleh Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan serta Susno Duaji, seharusnya ditindaklanjuti oleh KPK tetapi ada hambatan Undang-Undang,” terang Benny Harman kepada Tempo, Rabu (30/6). Menurut Benny, Dewan Kehormatan yang akan memberi laporan dan rekomendasi kepada Presiden untuk ditindaklanjuti. “Langkah ini penting sebagai titik awal baru memulai reformasi Polti dan menjaga martabat serta wibawa Polri di mata masyarakat,” kata politikus Demokrat ini.

Namun, jika proses Presiden membentuk Dewan Kehormatan ini lama maka Kepala Kepolisian RI yang harus segera segera membentuknya. Tetapi supaya hasilnya dipercaya oleh rakyat anggota-anggotanya harus tokoh masyarakat yang kredibel, bisa dari dalam maupun luar Kepolisian RI. Ide ini belum dibahas secara internal di Komisi Hukum. karena DPR masih dalam masa reses hingga 12 Juli. Namun, Wakil Ketua Komisi Hukum dari fraksi Golongan Karya Azis Syamsuddin yakin kasus rekening mencurigakan perwira tinggi Kepolisian RI ini akan menjadi bahan pembahasan. Komisi III DPR segera menindaklanjuti kasus rekening mecurigakan milik sejumlah perwira polisi. Untuk itu, komisi ini akan memanggil Pusat Pelaporan Analisa dan Transaksi Keuangan (PPATK).

Terkait indikasi korupsi dalam kasus rekening jumbo jendral Polri, Komisi III DPR akan mengawasi proses pengusutannya di KPK. Ketua Komisi III DPR Benny K Harman mendesak KPK untuk segera mengusut kasus tersebut. Menurut Benny, perlu adanya ketegasan dari KPK untuk menguji kredibilitas Polri di mata masyarakat. “Ini perlu untuk menunjukkan semangat KPK membersihkan Polri dari mafia kasus dan hukum. Langkah ini juga menjadi bagian dari agenda percepatan reformasi birokrasi dalam tubuh Polri,” kata dia.Untuk itu, Benny meminta KPK segera mengambil langkah hukum terhadap masalah rekening fanatastik yang dimiliki sejumlah jenderal Polri,” tegas Benny kepada wartawan, Selasa (29/9). Untuk memastikan KPK menuntaskan kasus ini, Komisi III akan konsentrasi penuh mengawasi pengusutan dan kontrol ketat atas rekening kontroversial ini. Berdasarkan data yang dilansir majalah Tempo edisi “Rekening Gendut Perwira Polri”, sejumlah nama yang diduga melakukan transaksi keuangan mencurigakan dan memiliki rekening tak wajar, di antaranya, Inspektur Jenderal Mathius Salempang dan Inspektur Jenderal Sylvanus Yulian Wenas. Selain itu juga Inspektur Jenderal Budi Gunawan, Inspektur Jenderal Badrodin Haiti, Komisaris Jenderal Susno Duadji, dan Inspektur Jenderal Bambang Suparno.

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Hanura Syarifuddin Sudding mengatakan, rencana pemanggilan PPATK tersebut telah dibicarakan dalam internal komisi yang membidangi hukum itu. Pihaknya juga telah sepakat mengklarifikasi PPATK secara langsung. Menurutnya, pemanggilan PPATK menjadi sangat penting karena PPATK sebagai institusi yang memiliki kewenangan memberikan klarifikasi dan laporan hasil analisis dari rekening-rekening yang mencurigakan. “Setelah reses kami akan memanggil PPATK untuk mengklarifikasi laporan yang ada. Sudah ada kesepakatan di internal Komisi III untuk memanggil PPATK,” ujar Suding, di Gedung DPR, Rabu (30/6). Meski demikian, Suding menolak berkomentar lebih jauh terkait dengan rekening mecurigakan di institusi Polri itu. “Saya belum bisa berkomentar banyak terkait masalah ini. Saya takutnya ini menjadi bias dan menjadi fitnah,” tutur Suding. Wakil Ketua DPR Pramono anung mengatakan, jika polri mau bersungguh-sungguh menelusuri rekening mencurigakan yang ada didalam tubuh institusinya, hal tersebut merupakan sebuah langkah maju. “Langkah Kapolri untuk meminta kabareskrim lakukan penelusuran itu adalah langkah yang baik. Yang paling penting, hasilnya juga harus bisa diakses dan respon oleh publik,” ujar Pramono. Dia juga menilai, berhembusnya isu rekening perwira polri yang mencurigakan tersebut terkait dengan suksesi pimpinan Kapolri yang akan habis pada bulan Oktober mendatang. Dengan tegas dia menyatakan, kasus tersebut dimunculkan oleh internal polri sendiri.

Gambar Menggiring Babi

Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Wahyu Muryadi meminta semua pihak menginterpretasi cover majalah Tempo edisi 28 Juni-4 Juli “Rekening Gendut Perwira Polisi” dengan tenang dan pikiran jernih. “Kami sama sekali tidak punya motif melecehkan institusi Kepolisian RI. Jika ada yang menyamakan polisi dengan babi itu keliru besar,” kata Wahyu, Rabu (30/6) menanggapi rencana gugatan yang akan dilayangkan Mabes Polri kepada Majalah Tempo. Wakil Juru Bicara Markas Besar Kepolisian Brigadir Jenderal Zainuri Lubis hari ini mengatakan Mabes Polri telah menyiapkan materi gugatan untuk Majalah Tempo. Kata Zainuri, Mabes Polri masih mempertimbangkan apakah akan menggugat perdata atau pidana Majalah Tempo. Untuk gugatan perdata, alasannya pemberitaan itu dinilai menjelekan institusi kepolisian. Karenanya, Polri meminta Majalah Tempo untuk minta maaf dan mengembalikan nama baik institusi. “Polri kan tidak pernah melakukan kejahatan tapi kalau orangnya mungkin,” ujarnya.

Sedangkan gugatan pidana, Majalah Tempo dianggap menghina institusi Polri dengan menampilkan gambar perwira yang menggiring celengan babi pada sampulnya. “Itu penghinaan, anggota Polri dan keluarga kecewa. Termasuk saya, tidak pernah menggiring celengan babi.” Menurut Wahyu, Tempo memiliki empat alasan memilih celengan babi untuk menyimbolkan beberapa rekening Perwira Tinggi Kepolisian tersebut. Pertama, dari asal bahasa celengan diambil dari celeng yang artinya babi hutan. Kedua, sejak zaman Majapahit terakota celengan juga selalu dalam bentuk babi. Ketiga, piggy bank (celengan) di luar negeri juga berbentuk babi. “Desain grafis Majalah yang masih muda-muda mengikuti perkembangan tren saat ini. Di film Toys Story yang sedang tren, artisnya si babi,” katanya menjelaskan alasan keempatnya. Kata Wahyu meski banyak ancaman, Tempo tak pernah khawatir dalam pemberitaan selanjutnya. “Kami yakin dan menghormati Polisi sebagai aparat penegak hukum,” katanya.

Kapolri tersinggung dan Perintahkan Usut

Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri menyatakan adanya cover celengan babi dalam Majalah Tempo bertajuk “Rekening Gendut Perwira Polisi” sangat menyakitkan institusinya. Menurut dia, babi merupakan binatang yang haram. “Karena digambarkan dengan sesuatu yang haram. Babi itu kan sangat menyakitkan bagi kita! Kita kan tentunya manusia biasa,” ujar Kapolri. Kapolri mengatakan itu usai memimpin upacara dalam rangka HUT ke-64 Polri di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, Kamis (01/07/10). Kapolri meminta jika kritik harus membangun. Meski demikian dia mengaku tidak marah. “Saya mohon tolonglah kalau kritik itu harus yang memberikan motivasi. Kita nggak marah tapi jangan digambarkan …,” kata Kapolri tanpa meneruskan ucapannya. Kapolri menambahkan, saat ini Kepolisian sedang melakukan perubahan. Proses perubahan yang lebih baik itu dinilainya ada kurang dan lebihnya. “Tapi jangan seperti itu kita digambarkan. Itu kan binatang haram kok digambarkan seperti itu kita. Tentunya anak-anak kami yang sedang bertugas di wilayah perbatasan, bekerja di pedalaman melihat seperti itu pasti mereka merasa tergugah,” ungkapnya.

Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI Komisaris Jenderal Ito Sumardi mengakui adanya perintah Kepala Polri Jenderal Bambang Hendarso Danuri untuk menelusuri rekening-rekening perwira yang mencurigakan. “Mudah-mudahan bulan depan sudah selesai,” kata Ito kepada majalah Tempo, yang mewawancarainya pada Jumat pekan lalu. Menurut Ito, ia dan wakilnyalah, Inspektur Jenderal Dikdik Mulyana, yang menerima perintah itu. “Mengapa kami yang diperintahkan? Karena kami tidak termasuk dalam daftar nama yang dicurigai,” katanya. Ia menjelaskan, dari ribuan laporan yang masuk dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), ada 800 yang bisa ditelusuri. Di antara laporan itu terdapat 60-an rekening perwira polisi. “Sudah kami telusuri, dan sekarang tinggal 21 laporan yang belum selesai diklarifikasi,” ujar Ito.

Kemarin juru bicara Mabes Polri, Inspektur Jenderal Edward Aritonang, membenarkan bahwa tim pengusut yang dikepalai Ito telah melakukan klarifikasi atas sekitar 800 laporan hasil analisis PPATK. Angka tersebut berasal dari 1.100 laporan hasil analisis sejak 2005. “Di antara rekening itu, sekitar 20 buah menyangkut rekening perwira polisi,” katanya, memberi angka berbeda dari Ito.

Setelah mengklarifikasi laporan itu, kata Edward, penyidik sudah melaporkan hasil pemeriksaannya ke PPATK. Namun ia tak mau menerangkan apakah seluruh rekening yang diklarifikasi itu dinyatakan bersih atau tidak lagi mencurigakan. “Hasil klarifikasi tidak bisa dipublikasikan, langsung diserahkan ke PPATK.” Ketua Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum Kuntoro Mangkusubroto mengatakan, pihaknya percaya Polri akan menangani kasus rekening para perwiranya ini dengan baik. “Kapolri perlu mengkaji dan mempelajari dengan seksama serta mengambil langkah-langkah sesuai dengan peraturan yang berlaku,” katanya di Kantor Wakil Presiden kemarin.

Di waktu yang lain sekitar penghujung bukan sebelumnya, -Kapolri Jendral Bambang Hendarso Danuri, sedang mendalami Laporan Hasil Analisis (LHA) PPATK mengenai rekening perwira Polri yang tidak wajar. ”Jika ada yang patut diduga tidak bisa dipertanggungjawabkan, nanti akan diproses,” janjinya usai rapat dengan Tim Pengawas kasus Century DPR, di Jakarta, Rabu (19/5). Kapolri mengaku sudah menerima Laporan Hasil Analisis (LHA) tersebut dari PPATK. Ia sedang mempelajarinya untuk segera ditindaklanjuti.

Kabareskrim Polri, Komjen Pol Ito Sumardi, mengaku sudah menerima surat perintah untuk penugasan klarifikasi LHA PPATK dari Kapolri. Kabareskrim pun telah membentuk tim khusus untuk mengklarifikasi LHA tersebut agar tidak membuat simpang siur informasi kepada masyarakat. Ito berjanji hasil dari penyelidikan tersebut akan diumumkan dalam waktu dekat. Sayangnya, ia tidak bisa memastikan kapan hasil tersebut akan diumumkan. ”LHA dari PPATK merupakan laporan tentang jumlah uang yang mencurigakan, tetapi bukan dari hasil kejahatan oleh karena itu saya minta tolong bersabar dalam waktu yang tidak terlalu lama akan kita umumkan secara resmi,” kilahnya.

Sebelumnya, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Yunus Husein, mengaku menemukan transaksi keuangan mencurigakan di rekening milik para perwira Polri dari berbagai tingkatan. Rekening tersebut merupakan rekening di luar 15 rekening perwira Polri yang ditemukan pada 2005.

Timbulkan Kecemburuan Sosial

Terungkapnya rekening gendut para jenral Polri dinilai memicu kecemburuan sosial bagi bawahan. Di khawatirkan, ini akan berdampak pada penurunan semangat kerja bawahan. Hal itu disampaikan pengamat hukum dan kepolisian, Bambang Widodo Umar. Di akui dia, diungkapnya kasus ini di Majalah Tempo beberapa waktu lalu memang berdampak positif bagi transparansi kepolisan untuk membenahi institusinya. Tetapi dampak negatifnya juga ada. “Harus mencermati dulu, tentunya ada postif dan negatif. Positif dalam rangka transparansi kepolisin untuk membenahi institusinya, juga dalam rangka keterbukaan pimpinan atau petinggi Polri supaya ada teloransi dengan bawahan,” kata Bambang.

Selain memicu kecemburuan sosial, dampak negatif dari terungkapnya rekening tak wajar itu juga dapat menurunkan rasa kepercayaan masyarakat terhadap petugas polisi. “Padahal, tugas polisi itu mulia. Masyarakat juga ingin melihat ada kesederhanaan dari para pati Polri seperti yang masyarakat alami,” lanjutnya. Itu sebabnya, dia menyarankan kedua hal ini perlu dikaji. Tidak perlu disangkal karena wajar saja fenomena tersebut memang terjadi. “Polri harus menjadikan kasus ini untuk membenahi organisasi, sehingga tak ada lagi oknum polisi yang menumpuk uang hasil main belakang. Kepemilikan rekening janggal ini jelas harus segera diusut tuntas dan transparan, agar tidak menajadi penyakit,” pungkasnya.

Pakar hukum Yenthi Garnasih mengatakan, jika laporan majalah Tempo ihwal rekening para perwira itu benar, patut diduga para polisi tersebut melakukan tindak pidana pencucian uang. “Kalau uang itu dari perusahaan atau orang yang dalam proses disidik, itu indikasi penyuapan.” Indikasi penyuapan itu, kata Yenthi, adalah unsur kejahatan pertama. “Setelah mereka menerima, lalu dibelanjakan, ditransfer, atau digunakan untuk lainnya. Di situlah pencucian uangnya,” ia menjelaskan.

Sumber: Majalah Tempo dan sumber lainnya

0 komentar:

Posting Komentar

Teruslah anda berkomentar. Dengan berkomentar di KomputerUnik anda bisa menjadi pelanggan terbaik ..

Jangan Komentar yang mengandung SARA yah.....

KomputerUnik in Facebook

Pengikut

 
Di Edit Ku Aditiyo Eka Nugraha | KomputerUnik | Terima kasih kepada semua pendukung KomputerUnik